Sejarah Kesenian Alee Tunjang

Asal Muasal Seni Alee Tunjang.

Seorang raja di daerah Buloh Blang Ara (Aceh Utara) memperoleh seorang putra, Raja memanggil seorang ahli nujum untuk melihat bagaimana nasib sang pangeran nanti. 
Ahli nujum mengatakan bahwa kelahiran tersebut akan membawa mala petaka bagi negeri atau kerajaan tersebut.

Mendengar penuturan ahli nujum, raja memutuskan untuk membuang putranya jauh ke dalam sebuah rimba yang penuh dengan pepohonan rindang yang mempunyai akar tunjang, ada yang berpendapat di situ banyak batang yang rebah dengan akar tunjangnya di sana-sini.

Setelah beberapa tahun kemudian, beberapa pencari rotan di hutan melihat ada seorang anak (putra raja tersebut) sedang bermain-main menumbuk batang kayu yang rebah dengan menggunakan akar tunjang. Ada juga yang mengatakan bahwa anak tersebut sedang asyik bermain dari akar tunjang yang satu ke akar tunjang lainnya, sambil memukul-mukul, dan menimbulkan suara atau ritmik yang berirama dengan tingkahan yang indah. Karena besar akar tunjang tersebut tidak sama, maka suaranya pun berbeda-beda dan sangat menarik.

Kemudian pencari rotan tersebut mendekati anak tersebut dan dibawa pulang ke rumahnya serta diasuh sebagai anaknya sendiri. Oleh anak itu permainan akar tunjang tersebut diteruskan di desa tempat tinggalnya yang baru itu bersama dengan anak-anak lain di sekitarnya.

Dari kisah ini pula, lahirlah nama suatu alat musik tradisional yang disebut "Alee Tunjang" atau dalam bahasa Indonesia adalah Alu Tunjang.

Alee Tunjang terdiri dari empat atau enam buah lesung yang masing-masing mempunyai alu atau galahnya sebagai penumbuk. Untuk satu set alu tunjang, memerlukan batangan gelondongan bak panah (batang nangka) dan bak mane. 
Agar tahan lama, batangan tersebut dipotong-potong sepanjang sekitar 70 cm dapat dan diawetkan dengan direndam di dalam lumpur.

Setelah beberapa bulan direndam, batangan kayu kemudian diangkat, dibersihkan bagian luarnya dengan mengulitinya, Kemudian dihaluskan dan dibentuk bulatan pada bagian atas, seperti topi dan pada bagian badannya memanjang dibentuk sedikit bersegi dan diberi lubang seperti lubang lesung, tapi tak seberapa lebar dan dalam. 

Untuk membedakan karakter suara, ukuran kedalaman dan lebar lesung disesuaikan sesuai kebutuhan. Terakhir pembuatan ragam hias ukiran-ukiran yang indah pada bagian atas dan pada bagian badannya.

Bentuk alee adalah menunjang tinggi seperti galah, sedangkan lesungnya gelondongan batang kayu masing-masing memiliki kedalaman lubang berbeda-beda, sehingga apabila dimainkan menghasilkan suara yang berbeda-beda pula pada tiap lesungnya, ukuran lesung lebih kurang setinggi lutut orang dewasa, dan cara bermainnya diletakkan di depan masing-masing.
Alee tunjang menggunakan bahan baku dari kayu nangka dan batang mane untuk lesungnya (bahasa Aceh) leusong. Sedangkan untuk alu dibuat dari pelepah daun nira (bak jok) yang masih muda dan panjang alee mencapai 2-4 meter. Terdapat enam lesung pada musik alee tunjang, masing-masing lesung memiliki ukuran yang berbeda-beda.

Lesung Alee tunjang penuh dengan ukiran ukiran spesifik semacam hiasan urat-urat yang melingkar, dan ornamen-ornamen lain yang menarik dan mempesona. Lesung biasanya dibuatkan ukiran yang cantik dan spesifik Aceh berupa dimensi-dimensi lengkung dan motif seperti bunga-bungaan.

Alee tunjang biasanya tidak dicat atau diwarnai, tetapi dipelitur dengan warna coklat tua ataupun dipernis, karena bahan kayu yang terpilih dari batang nangka atau bak mane biasanya lambat laun akan berwarna coklat dan kalau sering-sering dimainkan atau dipegang-pegang otomatis akan menjadi licin dan berkilat.

Adapun lesungnya terdiri dari:
-Lesung aneuk sempom satu buah dibuat dari bahan batang nangka.
-Lesung syup syup satu buah dari batang nangka atau bak mane.
-Lesung reumpah bisa berjumlah dua buah atau tiga buah.
Alu dibuat dari pelepah enau (bak jok).

Perbedaan jenis bahan baku yang digunakan, maka akan memberikan efek timbre suara yang berbeda-beda.
-Lesung dari batang nangka agak berbeda suaranya bila dibandingkan dengan lesung dari batang mane.
-Lesung reumpah lebih rendah dan dangkal lubangnya bila dibandingkan dengan lesung aneuk seumpom dan lesung syup-syup.
Penjelasan Lesung Alee Tunjang
A. Lesung aneuk sumpom 1
Diameter lesung nomor 1 adalah 20 cm, lubang lesung 10 cm dan kedalaman lesung 17 cm, ketika ditumbukkan lesung 1 akan berbunyi (aa)

B. Lesung syup-syup 2
Diamater lesung nomor 2 adalah 23 cm dengan besar lubang
lesung 12 cm dan kedalaman lubang lesung 17 cm, ketika
ditumbukan lesung 2 akan menghasilkan bunyi (teng)

C. Lesung reumpah 3
Diameter lesung nomor 3 adalah 23 cm dengan besar lubang
lesung 10 cm dan kedalaman lubang lesung 20 cm, ketika
ditumbukan maka lesung nomor 3 ini akan menghasilkan bunyi (tung)

D. Lesung 4
Diameter lesung nomor 4 adalah 25 cm dengan besar lubang lesung 11 cm dan kedalaman lubang lesung 25 cm, ketika ditumbukkan bunyi yang dihasiikan oleh lesung nomor 4 adalah (dung)

E. Lesung 5
Lesung 5 mempunyai diameter 26 cm dengan besar lubang lesung 13 cm dan kedalaman lubang lesung adalah 25
cm

F. Lesung 6
Diamater lesung nomor 6 adalah 25 cm dengan besar Iubang lesung adalah 11 cm dan kedalaman Iubang lesung 25 cm, ketika lesung ini ditumbukan maka akan menghasilkan bunyi (tak)

Alee Tunjang adalah seni musik pedalaman yang menjadi andalan sejak masa Kerajaan Samudera Pasai (abad 13 M). Alee Tunjang dan Rapai Pase berkembang bersama sama. Rapai di wilayah pantai dan alee tunjang di pedalaman kawasan Buloh Blang Ara.
Pada masa tertentu alee tunjang hampir saja punah bersamaan dengan surutnya Samudera Pase (Pasai).  Kesenian ini baru diperkenalkan kembali Pada PKA  tahun 1972 di masa Gub Aceh Muzakir Walad

https://youtu.be/8na-gdQSMlE?si=eJivyRfWPcjKma36

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pantoen Peusijuk

Makna Peuneuwo Linto

Nasib Pak Geuchik