Adat Aceh
Adat Aceh Terbagi Dari Beberapa Macam
Adat Aceh tidak pernah terlepas dengan hukom, Qanun dan reusam.
Hukom merupakan jiwa bagi adat, qanun merupakan kelengkapan adat,
dan reusam adalah isi dari adat aceh dalam bentuk yang konkrit.
Ke empat
tersebut akan diuraikan dibawa serta hubungan satu sama lain.
Adat
Dalam kamus Bahasa Aceh Belanda Atjehsch Nederlansch Woordenboek
yang ditulis oleh R.A Hoesein Djajadiningrat (1934) memiliki pegertian
sebagai berikut:
Adat atau ‘adat bermakna kebiasaan aturan, lembaga hukum, adat
leluhur dikrit turun temurun, dikrit yang dikhidmat oleh orang Aceh
yang berasal dan sebagaimana diatur oleh SUltan ISkandar Muda
(1607-1636 M) : Adat poteumeuruhom (Adat Meukuta Alam).
Adat
memperlakukan hukum agama untuk mengatur masyarakat (ANW,
JIilid I, hal 9-12). (cf.TUanku Abdul Jalil, 1989).
Pengertian adat seperti tersebut dalam kamus bahasa aceh belanda
menunjukkan bahwa adat aceh adalah adat berdasarkan aturan dan
kebiasaan yang telah ditentukan pada zaman Sultan ISkandar Muda.
Menurut Darwis A. Soelaiman dalam bukunya Kompilasi Adat Aceh
(2011) mengatakan bahwa adat aceh mencakup empat ha berbeda:
1. Sekumpulan peraturan mengenai kekusaan Raja yang berasal dari
zaman sultan Iskandar Muda
2. Sebuah upacara kronik yang hanya menyebut raja-raja
3. Sebuah upacara yang melukiskan berbagai ragam pawai dan
kepercayaan khidmat yang berlangsung selama setahun, yang
semuanya itu juga berasal dari pemerintahan Iskandar Muda
4. Sebuah daftar terperinci mengenai pajak cukai yang dipungut dari
para pedagang yang tiba di pelabuhan Aceh atau yang
meninggalkannya
Mengenai arti dari adat Aceh dapat dikembaikan kepada sebuah hadits
maja (yaitu ucapan atau perkataan orang-orang tua) yang terkenal di Aceh
sejak dulu yang berbunyi:
Adat bak poteu meureuhom
Hukom bak syiah Kuala
Qanun bak Putroe Phang
Reusam bak laksamana
Hukom ngon adat lagee zat ngoen sifeut, Maksudnya:
Pemegang kekuasaan adat adalah Raja, Pemegang kekuasaan hukum adalah Ulama, Pembuat aturan-aturan adat adalah Putri Pahang, Yang mengatur pelaksanaan adat adalah laksamana
Hukum dan adat seperti zat dan sifat, Dari ungkapan hadits maja tersebut, dapat disimpulkan tiga makna
1. Adat aceh mempunyai tempat sangat penting dan memiliki motivasi
yang sangat besar.
2. Adat aceh menegaskan perlunya pembagian tugas dan penanggung
jawab yang jelas dalam berbagai aspek, pemerintahan dan kemasyarakatan
3. Adat aceh sangat luas ruang lingkupnya tidak hanya terbatas pada
adat kebiasaan (adat istiadat) tetapi menyangkut berbagai aspek
kehidupan yang tercakup dalam empat macam adat :
Adat mahkota,
Adat Tunah, Adat Mahkamah, dan Adat reusam.
Adat Mahkota
Adat mahkota adalah adat yang menyangkut dengan urusan
pemerintahan, misalnya adat dalam hubungan upacara kerajaan, pengaturan administrasi pemerintahan, mengenai pengadilan, mengenai
perpajakan dan sebagainya.
Adat upacara kerajaan yaitu adat pengangkatan ulee balang, panglima
sagoe dengan letusan meriam sesuai dengan jabatan yang akan diangkat
oleh Raja.
Adat Perpajakan menyangkut penghasilan kerajaan yang harus dituruti
oleh rakyat, seperti adat blang, adat kamsen, adat kuala, adat peukan, adat
peutoe, adat lhok, dan adat peutuha.
Setiap masa pemerintahan kerajaan Aceh Sultan Iskandar Muda banyak
menciptakan adat di Aceh sehingga masyhur dengan hadits maja Adat bak Poeteumeuhom
Adat Tunah
Adat Tunah adalah adat yang menyangkut dengan hukum islam, adat
tunah hukum memberikan dasar hukum bagi peraturan yang akan
diberlakukan sebagai adat istiadat, adat tunah meliputi hukum bagi pencuri,
dan adat tunah juga mengatur hukum pernikahan dengan panduan agama
dan syariat islam. Pada masa pemerintahan Ratu Shafiatuddin
(1641-1675) yang mengatur adat ini dipegang oleh Mufti kerajaan yang
bernama Syaikh Abdurrauf Assingkili atau kerap dikenal Syiah Kuala maka
termasyhur Hadits maja Hukom bak Syiah Kuala
Adat Mahkamah
Adat mahkamah adalah adat dalam hubungan masyarakat, seperti aturan
berkenaan hukuman, kesusilaan, dan lain-lain. Adat mahkamah berada
dibawah kekuasaan legislatif yang pada masa Sultan Iskandar Muda
berada dibawah naungan Putroe Phang. Adat mahkamah ini
menghasilkan produk yang disebut dengan reusam dalam hadits maja
disebut Qanun nibak putroe phang
Adat Reusam
Adat reusam adalah adat istiadat yaitu yang menyangkut dalam kebiasaan
masyarakat setempat, misalnya kebiasaan yang dilakukan oleh
masyarakat berkenaan dengan upacara daur ulang hidup manusia seperti
melahirkan, pendidikan, perkawinan, dan juga hal berkenaan dengan
kematian seseorang. “Reusam ini berasal dari kata arab yaitu rasam yang
bermakna kebiasaan menurut daerah atau tempat masing-masing” (Abdul
Jalil 1988). Reusam ini dilaksanakan oleh pemimpin daerah yang di tunjuk
oleh Raja, dalam hadits maja disebut Reusam bak Laksamana.
Seperti yang telah disebut sebelumnya hukom ngon adat lagee zat ngon
sifeut, hal ini terbukti dengan setiap tindak tanduk perilaku sosial masyarakat Aceh selalu bersambung dengan panduan agama, adat dan
hukom yang menyatu itu merupakan nilai nilai budaya (kebudayaan ideal)
yang menjadi pedoman dalam berperilaku, kuatnya kedudukan adat dan
hukum tercermin dalam ungkapan hadits maja
Adat beumeukoh reubong
Hukom beumeukoh purieh
Adat hanjeut beurangkahoe takong
Hukom hanjeut beurangkahoe takieh
Maksudnya, Adat bersifat berubah dan berkembang sesuai dengan perkembangan
zaman, ibarat tunas bambu muda (reubong) yang lunak dan sedang dalam
proses menjadi bambu, akan tetapi adat tersebut tidak dengan mudah saja
di langgar, (adat hanjeut beurangkahoe ta kong). Dalam koh reubong itu
juga butuh kepiawaian dalam memilih dan memotong, karena jika salah
dalam memotong maka merusak tunas yang lain, dan salah dalam memilih
bukanlah reubong (tunas Lunak) yang terpilih sehingga tidak dapat
dipergukanan bahkan terbuang sia-sia.
Sedangkan sifat hukum adalah ibarat Purieh yaitu bambu tua yang sudah
sangat kering dan lurus, yang tidak boleh memihak tapi bersifat baku
seperti panduan syariat, kering dan keras bermakna dia tidak dapat lagi
diubah-ubah dan tidak mudah padanya diberikan tamsilan atau kias (kieh).
Sekalipun kias itu termasuk dalam salah stu hukum islam (Qur'an Hadits
Ijma Qiyas) karena itu hukom hanjeut beurangkahoe ta kieh, yakni hukum
itu tidak dapat diberikan tamsilan secara sembarangan.
Jikalau suatu data telah diatur menjadi qanun maka adat itu sudah jelas
memperlihatkan batas-batas yang benar dan yang salah, yang baik dan
yang buruk, serta yang boleh dan tidak boleh dilakukan karena sudah
didukung oleh adat tunah. Kedudukan qanun dan reusam tidak dapat
dipermainkan atau dipandang remeh, ia merupakan aturan tegas yang
harus dilaksanakan sebagaiamana mestinya. Hal itu tercermin dalam
hadits maja
Qanun meu ateung blang
Reusam meutangga-tangga
Kanun bek tameuayang
Reusam bek ta meukra
Maksudnya
Qanun seperti pematang sawah yang berfungsi sebagai batas antara petak
sawah satu dengan lainnya, dan pematang sawah ini bersifat lurus dan
menjadi pijakan sebagai prosuk mahkamah yang harus dijaga
kewibawaanya, maka qanun tidak boleh dipermainkan karena akan
dikenakan sanksi bagi pelanggarnya.
Reusam meutangga-tangga bermaksud reusam ini memiliki tingkatan yang
berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah lainnya, perbedaan ini
harus saling memahami dan tidak digunakan sebagai bahan guyonan
karena dapat memicu kesalah pahaman bahkan pertikaian.
Menjadi catatan penting semua landasan adat istiadat Aceh memberikan
identitas yang kuat yaitu nilai-nilai islam, sehingga peuganjo atau MC
Khanduri Kawen harus melaksanakan adat perkawinan sesuai dengan
adat yang telah diatur, karena terdapat keseluruhan nilai adat, yaitu adat
tunah, qanun dan reusam.
Meukeurija atau Adat khanduri kawen atau lebih dikenal dengan resepsi pernikahan, pesta
perkawinan, atau walimatul urusy adalah salah satu adat yang
dilaksanakan di Aceh yang berawal dari adat tunah yaitu sunnah Nabi,
dalam pelaksanaan adat ini wajib memandu dan dituntun sampai acara
selesai ,ini menjadi prosedur
tetap yang harus dilaksanakan untuk menjaga nilai adat itu sendiri
sehingga tidak dijadikan panggung hiburan karena setiap poin adat sarat
akan makna dan cenderung sakral untuk dilaksanakan.
“Perihal perkawinan merupakan proses awal dari dimulainya kehidupan
dalam bermasyarakat yang kemudian akan melahirkan keturunannya
sebagai warga masyarakat yang akan menjadi pendukung adat istiadat,
maka adat istiadat menjadi penting diketauhi” Moehammad Hoesin (1967)
Dalam khanduri kawen, ada dua khanduri yang dipandu oleh peuganjo,
Khanduri Preh Linto Baro, dan Tueng Dara Baro.
Istilah ini berlaku seluruh
Aceh, sebagai masyarakat yang mendalami adat aceh maka jangan menggunakan
istilah dari suku atau budaya di luar aceh, misal tueng dara baro di ganti
menjadi ngunduh mantu, karena Aceh memiliki adat budaya dan bahasa
sendiri yang sudah ada berabad-abad. Penggunaan bahasa Aceh dalam acara khanduri kawen bersifat harus, namun jika ada tamu dari luar aceh
bisa diterjemahkan untuk memperkenalkan adat budaya.
Komentar
Posting Komentar